Tagged Under:

Diskusi Mingguan #25: Indegenisasi Ilmu dari Falsafah Bangsa

Oleh: Muhammad Salisul Khan

Ilmu pengetahuan sosial dan humaniora di Indonesia masih dalam keadaaan krisis identitas. Penyebab masalah itu berakar sejak masa kolonial dimana  perspektif orientalisme ilmuwan Barat telah mematikan identitas ilmu pengetahuan sosial dan mencerabut dari akar masyarakat bangsa ini, yakni masyarakat negara yang terjajah. Memang, banyak negara di Asia dan Afrika termasuk Indonesia telah merdeka secara politik. Namun para ilmuwan sosialnya, masih gagal dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Hal ini menunjukkan perlu adanya terobosan baru dalam proses produksi pengetahuan untuk memahami masyarakat dan kebudayaan dengan perangkat-perangkat ilmu pengetahuan sosial dan humaniora yang lebih membumi dan cara pandang baru, yang tidak melihat masyarakat dan budaya sebagai sesuatu yang terasing dari lingkungan lokalnya (Nuke, 2016). Membumikan atau mempribumikan (indegenisasi) suatu ilmu pengetahuan tidak bisa lepas dari falsafah bangsa Indonesia terbentuk, setiap prinsip dalam identitas budaya harus menjadi landasan untuk memproduksi, mengkonsumsi, hingga memasarkan ilmu pengetahuan itu sendiri untuk kepentingan indegeneus.
Di media sosial yang belum lama ini memberitakan mobil Presiden RI yang beberapa kali mogok, mengingatkan kembali hasil karya anak bangsa berupa mobil Esemka yang telah lolos uji emisi bahkan sempat diwacanakan menjadi mobil nasional (mobnas). Namun, eksistensinya seakan hilang dengan birokrasi elit yang sarat persyaratan, bahkan kebijakan pemerintah pun justru membuka pasar bebas, dengan memasukkan mobil (mini)  murah  yang  jumlahnya  sangat  banyak  dan  mematikan  rencana  mobil  nasional.  Di  sisi  lain  yang berkaitan dengan indegenisasi ilmu ini, seorang warga negara yang memiliki kemampuan intelektual luar biasa, menerima jabatan sebagai Menteri ESDM dengan gaji sekitar 220 juta pertahun dan melepas jabatan dari Presiden Direktur Petroneering dengan gaji 1,77 milyar pertahun. Hal ini seakan menunjukkan bahwa Archandra mengutamakan pengabdian kepada bangsanya, walaupun pada kenyataannya jabatan tersebut sangat politis, karena terkait dengan permasalahan dwi kewarganegaraan, hingga pada akhirnya Johan yang menjadi menteri ESDM dengan latar belakang keilmuan yang tidak sesuai. Begitu pula dengan kasus indegenisasi ilmu lainnya, seperti Khoirul yang disebut berkontribusi besar dalam penemuan 4G Lite yang bekerja di Japan Advanced Institute of Science and Technology, Andre Surya dalam animator Film Transformer, dan Marsya Fawzi sebagai animator Upin Ipin
Contoh kasus tersebut menunjukkan bahwa potensi bangsa untuk mewujudkan indegenisasi ilmu begitu besar, namun tentu ada berbagai alasan dari yang mendasar hingga alasan yang sederhana, yang membuat local wisdom menjadi terasingkan terhadap hal tersebut. Mempribumikan ilmu dalam era sekarang hampir selalu dikaitkan dengan kemajuan peradaban dengan teknologinya. Bagaimana hal ini menjadi dasar untuk mempribumikan ilmu, jika masih banyak masyarakat di banyak daerah masih jauh dari kemajuan tersebut? Ilmu pengetahuan apa yang berasal dari pribumi dan digunakan bangsa untuk kemajuan negaranya sendiri? Terlebih lagi, bagaimana orang yang memiliki segudang ilmu pengetahuan, namun justru membesarkan negara lain?
Hal tersebut mungkin sudah biasa menjadi perbincangan orang di warung-warung kopi, yang melihat bahwa bangsa ini masih dijajah oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibawa oleh Barat. Walaupun sisi negatif dan positif dari ekspansi tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat pribumi, tetap saja produk ilmu tersebut bukanlah berasal dari pribumi, dan belum tentu sesuai jija diterapkan di Indonesia, bahkan bisa jadi dapat  menyisihkan  produk  asli  dari  pribumi  sendiri.  Berkaitan  dengan  hal  ini,  tentu  ada  hal  yang  bisa diperbaiki hingga dikembangkan dari ilmu itu sendiri, agar bangsa ini tidak kehilangan identitasnya dan dapat mandiri dalam bidang ilmu, walaupun belum bisa berdaulat secara penuh.
Pertama, hal yang perlu disadari terlebih dahulu adalah kemajuan bangsa harus sejajar dengan nilai budayanya. Dalam konteks ini, Kuntowijoyo (2006) menilai kebanyakan orang sering mencampuradukkan antara kebenaran dan kemajuan sehingga pandangan seseorang tentang kebenaran terpengaruh oleh kemajuan yang  dilihatnya.  Hal  ini  tentu  berbeda,  karena  kebenaran  bersifat  non-cumulative  (tidak bertambah/berkembang) dari waktu ke waktu, seperti kebenaran nilai agama dan budaya/falsafah bangsa. Sedangkan kemajuan bersifat cumulative (bertambah/berkembang) dari waktu ke waktu, seperti ilmu sosial, fisika, teknologi, kedokteran.


Materi Selengkapnya . . .
Share on :

0 komentar:

Posting Komentar

Our Location