Ilmu pengetahuan sosial
dan humaniora di Indonesia masih dalam keadaaan krisis identitas. Penyebab
masalah itu berakar sejak masa kolonial dimana perspektif orientalisme ilmuwan Barat telah
mematikan identitas ilmu pengetahuan sosial dan mencerabut dari akar masyarakat
bangsa ini, yakni masyarakat negara yang terjajah. Memang, banyak negara di Asia
dan Afrika termasuk Indonesia telah merdeka secara politik. Namun para ilmuwan
sosialnya, masih gagal dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan
kondisi masyarakatnya. Hal ini menunjukkan perlu adanya terobosan baru dalam
proses produksi pengetahuan untuk memahami masyarakat dan kebudayaan dengan
perangkat-perangkat ilmu pengetahuan sosial dan humaniora yang lebih membumi
dan cara pandang baru, yang tidak melihat masyarakat dan budaya sebagai sesuatu
yang terasing dari lingkungan lokalnya (Nuke, 2016). Membumikan atau
mempribumikan (indegenisasi) suatu ilmu pengetahuan tidak bisa lepas dari
falsafah bangsa Indonesia terbentuk, setiap prinsip dalam identitas budaya
harus menjadi landasan untuk memproduksi, mengkonsumsi, hingga memasarkan ilmu
pengetahuan itu sendiri untuk kepentingan indegeneus.
Di media sosial yang
belum lama ini memberitakan mobil Presiden RI yang beberapa kali mogok,
mengingatkan kembali hasil karya anak bangsa berupa mobil Esemka yang telah
lolos uji emisi bahkan sempat diwacanakan menjadi mobil nasional (mobnas).
Namun, eksistensinya seakan hilang dengan birokrasi elit yang sarat persyaratan,
bahkan kebijakan pemerintah pun justru membuka pasar bebas, dengan memasukkan
mobil (mini) murah yang jumlahnya
sangat banyak dan
mematikan rencana mobil nasional.
Di sisi lain yang berkaitan dengan indegenisasi ilmu ini, seorang
warga negara yang memiliki kemampuan intelektual luar biasa, menerima jabatan
sebagai Menteri ESDM dengan gaji sekitar 220 juta pertahun dan melepas jabatan
dari Presiden Direktur Petroneering dengan gaji 1,77 milyar pertahun. Hal ini
seakan menunjukkan bahwa Archandra mengutamakan pengabdian kepada bangsanya,
walaupun pada kenyataannya jabatan tersebut sangat politis, karena terkait
dengan permasalahan dwi kewarganegaraan, hingga pada akhirnya Johan yang
menjadi menteri ESDM dengan latar belakang keilmuan yang tidak sesuai. Begitu
pula dengan kasus indegenisasi ilmu lainnya, seperti Khoirul yang disebut
berkontribusi besar dalam penemuan 4G Lite yang bekerja di Japan Advanced
Institute of Science and Technology, Andre Surya dalam animator Film Transformer,
dan Marsya Fawzi sebagai animator Upin Ipin
Contoh kasus
tersebut menunjukkan bahwa potensi bangsa untuk mewujudkan indegenisasi ilmu
begitu besar, namun tentu ada berbagai alasan dari yang mendasar hingga alasan
yang sederhana, yang membuat local wisdom menjadi terasingkan terhadap hal tersebut.
Mempribumikan ilmu dalam era sekarang hampir selalu dikaitkan dengan kemajuan
peradaban dengan teknologinya. Bagaimana hal ini menjadi dasar untuk
mempribumikan ilmu, jika masih banyak masyarakat di banyak daerah masih jauh dari
kemajuan tersebut? Ilmu pengetahuan apa yang berasal dari pribumi dan digunakan
bangsa untuk kemajuan negaranya sendiri? Terlebih lagi, bagaimana orang yang
memiliki segudang ilmu pengetahuan, namun justru membesarkan negara lain?
Hal tersebut mungkin
sudah biasa menjadi perbincangan orang di warung-warung kopi, yang melihat
bahwa bangsa ini masih dijajah oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibawa
oleh Barat. Walaupun sisi negatif dan positif dari ekspansi tersebut dapat
dinikmati oleh masyarakat pribumi, tetap saja produk ilmu tersebut bukanlah
berasal dari pribumi, dan belum tentu sesuai jija diterapkan di Indonesia,
bahkan bisa jadi dapat menyisihkan produk asli
dari pribumi sendiri. Berkaitan dengan hal
ini, tentu ada
hal yang bisa
diperbaiki hingga dikembangkan dari ilmu itu sendiri, agar bangsa ini tidak kehilangan
identitasnya dan dapat mandiri dalam bidang ilmu, walaupun belum bisa berdaulat
secara penuh.
Pertama, hal yang
perlu disadari terlebih dahulu adalah kemajuan bangsa harus sejajar dengan
nilai budayanya. Dalam konteks ini, Kuntowijoyo (2006) menilai kebanyakan orang
sering mencampuradukkan antara kebenaran dan kemajuan sehingga pandangan
seseorang tentang kebenaran terpengaruh oleh kemajuan yang dilihatnya. Hal ini
tentu berbeda, karena kebenaran
bersifat non-cumulative
(tidak bertambah/berkembang) dari waktu ke waktu, seperti kebenaran
nilai agama dan budaya/falsafah bangsa. Sedangkan kemajuan bersifat cumulative (bertambah/berkembang)
dari waktu ke waktu, seperti ilmu sosial, fisika, teknologi, kedokteran.
Materi Selengkapnya . . .
Materi Selengkapnya . . .
0 komentar:
Posting Komentar