Reviewer: Ronal Ridlo'i, 7 Februari 2016
Indonesia pada periode abad ke-19 sangat
menarik untuk dibicarakan. Hal itu dikarenakan dalam kurun waktu tersebut mulai
ada upaya modernisasi dari orang-orang Eropa, khususnya Belanda. Seperti dalam
buku Sistem
Tanam Paksa di Jawa karya
Robert van Niel yang membahas pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Jawa, berbagai
permasalahan sistem tersebut sampai warisan yang ditinggalkan untuk Indonesia,
khususnya Pulau Jawa.
Berbagai kajian mengenai
Sistem Tanam Paksa atau cultuurstelsel telah banyak dibahas oleh sejarawan.
Mereka banyak berbicara mengenai bagaimana awal mula penerapan sistem ini,
keuntungan dan kerugian bagi penduduk lokal Jawa, permasalahan hak milik tanah,
buruh perkebunan dan sebagainya. Nampaknya, ide Gubernur Jendral Van den Bosch
(1830) ini membawa banyak pengaruh bagi ekologi Jawa (lingkungan dan
penduduknya). Dalam buku ini, van Niel memaparkan bahwasanya Sistem Tanam
Paksa yang diberlakukan di Jawa ini membawa pengaruh besar bagi perkembangan
ekonomi pada periode berikutnya. Van Niel merepresentasikan pelaksanaan tanam
paksa ini dengan sudut pandang ekonomi. Ia melihat kemunculan basis-basis
ekonomi baru setelah diperkenalkan komoditi ekspor bagi penduduk Jawa.
Dalam buku ini, van Niel
menjelaskan secara umum pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di beberapa Karesidenan
di Pulau Jawa, seperti Cirebon, Pekalongan, Semarang, Surabaya, Pasuruan dan
Besuki. Daerah-daerah tersebut merupakan basis perkebunan tebu yang mampu
menghasilkan ribuan ton tebu/tahunnya untuk kemudian diproses menjadi gula
sebelum diekspor ke pasar internasional. Gula dari Hindia-Belanda (Indonesia)
sangat laku di pasar internasional karena harganya yang murah dan rasa yang
mampu bersaing dengan gula dari negara lain. Hal inilah yang menyebabkan
pemerintah kolonial melakukan penanaman besar-besaran di Pulau Jawa. Pemerintah
kolonial melakukan eksploitasi secara besar-besaran, tapi anehnya penduduk
lokal Jawa tidak merasa dieksploitasi. Ini merupakan kecerdikan orang Belanda
yang selalu ikut campur urusan birokrasi lokal. Mereka berhasil menguasai dan
mempengaruhi para penguasa lokal (bupati, wedono dan kepala desa) agar bisa
menggerakkan penduduk setempat untuk menanam tebu secara serentak tanpa adanya
konflik fisik.
Berbicara tentang Sistem
Tanam Paksa maka tidak dapat dilepaskan dari komoditi ekspor, sistem penanaman,
tenaga kerja murah dan tanah. Van Niel menjelaskan beberapa hal tersebut secara
umum berdasarkan studi kasus di daerah-daerah tertentu di Jawa. Pertama yaitu
komoditi ekspor, dalam buku ini tidak dijelaskan secara rinci mengenai komoditi
ekspor apa saja yang ditanam ketika diberlakukan program tanam paksa. Hanya
pembahasan mengenai komoditi tebu yang dikupas secara khusus dalam setiap bab.
Hal ini memang wajar karena van Niel memfokuskan kajiannya pada perkebunan tebu
saja. Sementara komoditi ekspor yang lain seperti kopi, teh, nila dan tembakau
tidak secara khusus dijelaskan dalam tiap babnya.
Kedua, yaitu sistem
penanaman yang diberlakukan. Pada periode awal 1830an, tebu ditanam di
lahan-lahan yang sebelumnya adalah sawah milik penduduk. Kebijakan Van den
Bosch mengharuskan 1/5 sawah yang dimiliki penduduk harus ditanami tebu,
walaupun nanti keadaannya akan berbalik. Justru sawah penduduk yang digunakan
untuk tanaman padi berkurang dari 4/5 menjadi 1/5. Penduduk pribumi pun tidak
ada yang bisa melawan pada saat itu karena sebenarnya tanah persawahan yang
mereka miliki adalah milik bupati atau kepala desa. Penduduk pribumi hanya
diberi tanah untuk digarap dan harus menyetorkan pajak berupa hasil bumi untuk
bisa menetap di tanah tersebut. Ketika Belanda datang beban mereka pun
bertambah. Di satu sisi penduduk pribumi harus menyetorkan pajak hasil bumi ke
bupati atau kepala desa, di sisi lain mereka juga harus rela sawahnya ditanami
tebu untuk kepentingan kolonial.
Ketiga, yaitu hak atas
tanah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penduduk pribumi tidak
mempunyai hak atas tanah karena mereka hanya menempati dan mengolah tanah
pemberian bupati atau kepala desa. Setiap desa dibagi menjadi satuan cacah (satu keluarga) dan setiap cacah
ini yang berkewajiban mengolah tanah dan harus memberikan setoran wajib kepada
kepala desa setiap selesai panen. Pada perkembangannya, para bupati juga
menyewakan tanah-tanah tersebut kepada pengusaha-pengusaha Eropa dan Cina,
sehingga proporsi tanah untuk pribumi lambat laun semakin berkurang. Hal ini
yang kemudian mengakibatkan penduduk pribumi banyak yang menjadi buruh
perkebunan daripada mengolah tanah mereka sendiri. Dan kebanyakan dari mereka
bekerja sebagai buruh di tanah-tanah pengusaha swasta (orang Eropa dan Cina).
Keempat yaitu tenaga
kerja (buruh). Produksi gula di Jawa semakin tinggi dan harga gulanya pun
murah, sehingga nilai ekspor komoditi ini pada abad ke-19 sampai dekade ketiga
abad ke-20 memang cukup besar. Hal ini dikarenakan upah buruh perkebunan pada
saat itu yang relatif rendah. Penduduk pribumi yang menggarap tanah harus
menyetorkan pajak hasil bumi (sebagai sewa tanah), tetapi yang bekerja untuk
perkebunan tebu tidak harus menyetor pajak tersebut. Jadi mereka kemudian
menjadi buruh tanam, buruh tebang dan buruh angkut tebu. Di pabrik-pabrik gula
pun penduduk pribumi juga menjadi buruh rendahan karena posisi mandor/pengawas
banyak diisi oleh golongan priyayi dan orang Cina. Sementara orang Eropa, khususnya
orang-orang Belanda bekerja di bagian kantor.
Walaupun penduduk
pribumi dan lingkungan di Jawa telah dieksploitasi oleh pemerintah kolonial
tapi mereka meninggalkan warisan bagi perkembangan ekonomi Jawa. Van Niel
menyebutkan ada 3 warisan Sistem Tanam Paksa, yaitu: pembentukan modal, tenaga
kerja murah dan ekonomi pedesaan. Pembentukan modal berkembang pada periode
selanjutnya karena pemerintah kolonial dan para pengusaha swasta (Eropa dan
Cina) menanamkan modal untuk perkebunan dan industri gula di Jawa. Hal ini
disebabkan karena kondisi ekologis di Jawa yang sangat mendukung (tenaga kerja
yang murah disertai lingkungan yang cocok untuk ditanami tebu). Selanjutnya,
sistem ekonomi pedesaan mulai muncul karena sudah ada kegiatan industri,
perburuhan, bahkan penanaman modal oleh pemerintah dan swasta asing. Jadi,
Sistem Tanam Paksa di Jawa merupakan upaya modernisasi untuk
mengembangkan desa (unit terkecil sistem administrasi daerah) sebagai basis
produksi yang bisa membawa perekonomian Jawa ke tingkat dunia.
*Sistem Tanam Paksa di Jawa. Penulis:
Robert van Niel. Jakarta: LP3ES, 2003. Hlm viii, 308, bibliografi + indeks.
0 komentar:
Posting Komentar