Ditulis oleh: Korneles Materay
Pelataran Tugu Jogja, 08 April 2017
Pada tanggal 1 Juni
2016 DPR RI bersama Presiden RI telah menyetujui dan mensahkan UU No. 11 Tahun
2016 tentang Pengampunan Pajak. Sedianya ini adalah pilihan dan langkah
progresif Pemerintah untuk mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state)
sebagaimana termaktub dalam Alinea IV UUD 1945. Sekian lama terjadi ketimpangan
sosial di seluruh aras kelompok masyarakat, pembangunan sumber daya manusia
yang tidak produktif, pengelolaan sumber daya alam yang tidak berpihak kepada
masyarakat dan pembangunan infrastruktur yang kurang memadai sehingga
menghambat tercapainya tujuan negara tersebut.
Dalam konsepsi
negara hukum modern (welfare state, verzorgingsstaat), pemerintah diserahi
kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurzorg) (Ridwan,
2009:37). Fungsi
pemerintahan kaitannya dengan kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan
umum adalah fungsi dalam melaksanakan Administrasi Pemerintahan yang
meliputi fungsi pengaturan,
pelayanan, pembangunan, pemberdayaan,
dan pelindungan. Untuk mewujudkan
cita-cita di atas, Pemerintah sebagai pengemban tugas utama harus mewujudkannya
secara berkesinambungan dan perlu pendanaan yang cukup untuk mengakomodasi
semua kebutuhan yang ada.
Selama ini terdapat
3 (tiga) macam sumber pendanaan negara, yaitu: (1) Penerimaan Perpajakan; (2)
Penerimaan Negara Bukan Pajak; dan Penerimaan Hibah/Bantuan Luar Negeri. Tabel
berikut ini menggambarkan kondisi penerimaan negara.
Pajak ternyata masih
merupakan sumber pemasukan negara yang terbesar namun dapat dikatakan bahwa
hampir setiap tahun anggaran, pemasukan pajak tidak pernah cukup untuk
membiayai kebutuhan negara. Sebab utama dari tidak terpenuhinya penerimaan
pajak karena ketidakpatuhan wajib pajak dalam membayar pajak. Banyak wajib
pajak yang melakukan pengemplangan/tidak membayar pajak.
Hal ini bisa karena
adanya aktivitas pengelabuan pajak seperti underground economy (ekonomi bawah
tanah) sehingga tidak terekam oleh sistem pengawasan dan keuangan Indonesia.
Sumbangsih kondisi ini bermacam-macam namun salah satu yang sangat potensial
adalah karena sistem perpajakan
Indonesia menganut self
assessment system yaitu wajib pajak
mempunyai kewajiban mulai dari menghitung sampai melaporkan sendiri hutang
pajaknya yang rentan untuk dimanipulasikan. Perbuatan ini merupakan bentuk dari
penghargaan negara terhadap hak asasi manusia rakyatnya dan juga sistem
integrasi kepercayaan bangsa. Korupsi di bidang perpajakan juga turut
memperparah proses menuju kesejahteraan akibat penyokong berupa dana dicuri
habis oleh para pencuri berdasi.
Lahirnya kebijakan
tax amnesty adalah bagian dari strategi Pemerintah untuk menarik dana dari
masyarakat wajib pajak. Selama ini kekayaan banyak wajib pajak banyak terparkir
di luar negeri dengan menikmati fasilitas berupa bebas pajak (tax heaven).
Berdasarkan data Global Financial Integrity tahun 2015 disebutkan bahwa
sebenarnya potensi dana warga Indonesia
tercatat di luar
negeri sebesar Rp3.147
triliun. Dana-dana tersebut
biasanya “diparkir‟ di wilayah
yang menetapkan pajak sangat
kecil atau bebas pajak (tax heaven countries) (Eri
Hariyanto, 2016). Jikalau
potensi dana yang
besar ini bila
dimasukan semuanya ke dalam negeri bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan
negara. Perilaku menyimpang ini harus segera dihilangkan karena setiap wajib
pajak mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap perpajakan Indonesia.
Taktik Pengampunan Pajak sebagai jalan untuk menggiring masuk wajib pajak
nakal.
Berbasis pada
kebutuhan Pemerintah, Melikaoui Moulou (2015) mendefinisikan tax amnesty
sebagai program pemerintah yang memungkinkan warga negaranya secara sukarela
untuk kembali membayar pajak yang mana pajak sebelum telah menjadi hutang pajak
tidak dikenai sanksi. Tax amnesty Indonesia tahun 2016 meliputi penghapusan
sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana perpajakan hanya dengan syarat
mengungkap harta dan membayar uang tebusan. Tujuan umum (rasio legis) dari
kebijakan tax amnesty ini, yaitu: (1) mempercepat pertumbuhan
dan restrukturisasi ekonomi
melalui pengalihan Harta,
yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas
domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah,
penurunan suku bunga,
dan peningkatan investasi;
(2) mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan
yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang
lebih valid, komprehensif, dan
terintegrasi; dan (3)
meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk
pembiayaan pembangunan.
Ditinjau dari
perspektif fungsi perpajakan,
secara umum dikenal
2 (dua) macam fungsi yaitu: (1) fungsi mengatur
(reguleren); dan (2) fungsi anggaran (budgeter). Fungsi reguleren bertalian
penggunaan pajak untuk dapat mendorong dan mengendalikan kegiatan masyarakat
agar sejalan dengan rencana dan keinginan pemerintah. Fungsi anggaran bertalian
dengan pajak sebagai alat atau instrumen yang digunakan untuk memasukan dana
sebesar- besarnya ke dalam kas negara (Sri Pudyatmoko, 2008:16-17).
Terkait dengan
fungsi tersebut, kebijakan
tax amnesty 2016 mengandung
kedua fungsi di atas, namun lebih menitikberatkan pada fungsi mengatur
karena mengarahkan pada tujuan tertentu dan lebih fokus kepada sistem
perpajakan yang ideal di masa depan. Sistem kebijakan perpajakan yang ideal
adalah yang baik secara administrasi perpajakan (tax administration), kebijakan
perpajakan (tax policy) dan hukum pajak (tax law). Diharapkan setelah banyak
wajib pajak yang mengikuti maka tersedia basis data yang cukup akurat dan
meningkatkan kepatuhan. Disamping itu pula jelas ada pendapatan negara dari
uang tebusan (fungsi budgeter). Sebagaimana dikatakan oleh Eric Le Borgne and
Katherine Baer (2008:20) “dalam jangka pendek tax amnesty menjadi sumber
tambahan pendapatan. Dalam jangka menengah, program tax amnesty diharapkan dapat
meningkatkan basis pajak dan mengumpulkan pendapatan di masa depan. Dalam kata
lain, tax amnesty akan mampu meningkatkan kepatuhan.”
0 komentar:
Posting Komentar