Tagged Under:

Menafsirkan Kritik DPR dalam UU MD3




Undang-undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3) yang sudah berlaku tengahan Maret ini menuai kontroversi dari berbagai kalangan. Permasalahan terjadi di antaranya karena perbedaan penafsiran terhadap Pasal 122 Huruf K yang berkaitan dengan tindakan hukum bagi yang merendahkan kehormatan DPR. Polemik dimulai sejak di parlemen ketika 2 partai memilih untuk walk out tidak menyetujui kebijakan, dan sikap presiden yang tidak menandatangani persetujuan undang-undang tersebut. Sementara itu beberapa pihak melakukan demonstarasi menuntut pemerintah mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang (perpu), hingga pengajuan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi.
Terlepas dari kepentingan politik, negara demokrasi selalu terbuka kritikan masyarakat kepada pemerintahan negara. Lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif dengan konsep check and balance membagi kekuasaan sesuai tugas dan fungsinya dengan saling mengawasi. Konstitusi telah menjamin bahwa negara ini adalah negara hukum, sehingga tidak akan ada lembaga yang kebal terhadap hukum, bahkan lembaga peradilan itu sendiri. Kritikan adalah sesuatu yang wajar dan sah, bahkan dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat 3, yang menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Akan tetapi setiap masyarakat ataupun anggota/lembaga dewan itu sendiri tidak dapat menggunakan haknya sewenang-wenang, karena terdapat kewajiban yang melekat pada pelaksanaan suatu hak. Pasal 28J ayat 2 menjelaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang untuk menjamin penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Permasalahan yang terjadi hingga saat ini lebih dari sekedar menafsirkan kata merendahkan kehormatan DPR, namun lebih kepada menafsirkan pembangunan sikap dewasa masyarakat ataupun anggota/lembaga dewan itu sendiri terhadap tujuan kesejahtaraan negara yang belum tuntas. Tujuan yang baik bagi siapapun akan diterima jika dilakukan dengan cara yang benar dan baik pula, sehingga siapapun yang diperlakukan secara baik seharusnya dapat menerima suatu kritikan untuk mewujudkan kebenaran dan kebaikan dari tujuan tersebut.

Muhammad Salisul Khakim, S.IP.,M.Sc
Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta


Share on :

0 komentar:

Posting Komentar

Our Location