Tagged Under:

Balik Kecantikan Cadar di Perguruan Tinggi


Oleh: Muhammad Khakim

Kondisi sosiologis bangsa Indonesia terdiri dari masyarakat multikultural yang perlu dijunjung tinggi, dihormati, dan terus dipertahankan, karena dengan pengakuan atas keberagaman inilah bangsa Indonesia terkonstruksi secara dinamis. Kondisi multikultural yang terdapat di Indonesia tercermin dalam keanekaragaman ras, agama, suku dan berbagai golongan.1 Toleransi kehidupan di wilayah yang beragam ini mutlak dibutuhkan, dengan harapan dapat membuat warga negara saling menghormati dan menghargai satu sama lain dalam lembaga pendidikan yang saat ini diuji secara sosiologis, religius, bahkan politis. UIN Sunan Kalijaga telah mengeluarkan surat resmi Nomor B- 1031/Un.02/R/AK.00.3/02/2018 untuk pendataan mahasiswi yang bercadar. UIN mengungkapkan 41 mahasiswi bercadar akan dibina oleh tim konseling dalam tujuh tahap, dan jika tetap bercadar mereka dipersilakan keluar. Rektor UIN Yudian Wahyudi menjelaskan sebagai kampus negeri harus berdiri sesuai Islam yang moderat atau Islam nusantara, yaitu Islam yang mengakui UUD 1945, Pancasila, Kebhinnekaan dan NKRI. Wakil Rektor III UIN Sunan Kalijaga Waryono menjelaskan dasar ketentuan cadar di kampusnya berdasar pada pedoman Saddu Dzariah sebagai ilmu hukum dalam Islam. Pedoman ini juga yang akhirnya melatarbelakangi kampus tersebut membatalkan kebijakan cadar pada 10 Maret 2018.3 Peristiwa ini pun menarik Perguruan Tinggi Swasta (Islam) maupun Negeri lainnya dalam mengelola kebijakan terkait penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Permasalahan di atas merupakan dinamika multikulturalisme dalam negara demokrasi. Lahirnya toleransi hingga saat ini tidak lebih bermula dari tuntutan terhadap keharmonisan tanah air sejak awal kemerdekaan. Keberagaman agama, ras, suku, dan budaya menjadi tantangan toleransi terbesar bagi negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam dengan berideologi Pancasila ini. Toleransi beragama mencakup masalah-masalah yang berkaitan dengan keyakinan pada diri manusia yang berhubungan dengan akidah atau yang berhubungan dengan kepercayaan seseorang terhadap ajaran dari Tuhan yang diyakininya. Norma etika yang perlu dibangun untuk menjaga sikap toleransi kebebasan beragama di antaranya adalah menghormati eksistensi agama lain, yaitu dengan pengertian untuk saling menghormati perbedaan ajaran setiap pemeluk agama dan penghayat kepercayaan.

Hak setiap individu4 terkait dengan kebebasan beragama dalam hal ini dijamin oleh negara hukum, sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu, dalam pasal 28I ayat 1 diakui bahwa hak untuk beragama merupakan Hak Asasi Manusia, serta dalam pasal 29 ayat 2 yang juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Namun, regulasi tersebut masih perlu diawasi dan dievaluasi keberlangsungannya dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, karena masih adanya potensi kasus yang bertentangan dalam menjamin mahasiswa sebagai warga negara yang sah untuk menjalankan kepercayaannya di lembaga pendidikan. Fenomena penggunaan cadar merupakan tantangan dalam negeri ini ketika pada satu sisi ingin menjaga syariat Islam secara khaffah, namun pada sisi lain beberapa pihak mengindikasikannya sebagai radikalisme. Hal yang membatasi hak kebebasan seseorang dalam menyakini kepercayaannya telah mengindikasikan adanya bentuk intoleransi di Perguruan Tinggi. Dengan demikian, kebijakan yang diterapkan oleh Perguruan Tinggi juga harus memperhatikan kebebasan dalam memilih keyakinan bagi para mahasiswa yang beragama Islam maupun non-Islam. Berbagai bentuk intoleransi yang terjadi antar kelompok agama pada prinsipnya terdapat tiga pandangan. Pertama, kurang tegasnya penegakan hukum dan kurangnya ketaatan pada peraturan. Kedua, bahwa keadaan akan harmonis dan kondusif di daerah-daerah dimana kelompok agama mayoritas berjumlah jauh lebih besar dibandingkan kelompok agama minotitas, artinya yang berkuasa adalah agama yang mayoritas. Terakhir, masyarakat dan pemimpin agama umumnya menilai bahwa di daerahnya toleransi beragama sangat baik dan tidak ada masalah yang signifikan.5 Ketiga bentuk intoleransi ini erat kaitannya dengan penegakan hukum dan kebijakan di Perguruan Tinggi, karena ketaatan mahasiswa tergantung pada kenyamanan dan kesesuaian regulasi yang telah ditetapkan tanpa mendiskriminasikan pihak atau golongan tertentu. Kebijakan yang dibuat berfungsi untuk mengatur tata kehidupan berdasarkan nilainilai budaya, etika, serta tata krama dalam bermasyarakat yang multikultural. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat 2 telah menegaskan bahwa Negara menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk dan beribadat menurut agama dan kepercayaan seseorang. Sementara itu, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Pasal 6 Ayat 2 juga menjelaskan bahwa Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa. Aturan hukum di atas menitikberatkan agar pemerintah melalui lembaga Perguruan Tinggi ikut serta dalam menjunjung tinggi dalam membangun toleransi terhadap perbedaan seseorang dalam memeluk dan mengamalkan suatu agama. Payung hukum sebagaimana yang telah dijelaskan tersebut menegaskan bahwa kebijakan yang dibangun di Perguruan Tinggi harus memperhatikan kebutuhan para mahasiswa dengan berbagai jenis agama dan kepercayaannya. Pendidikan agama dengan pendekatan kultural artinya digunakan tanpa untuk menjamin penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. menggunakan label Islam, tetapi menekankan pengamalan nilai-nilai universal yang menjadi kebutuhan manusia yang berlaku di masyarakat. Kebijakan dengan menanamkan pendidikan agama di lingkungan Perguruan Tinggi memiliki pengaruh penting dalam membangun hubungan toleransi antar mahasiswa, terutama dengan mengedepankan pendekatan multikultural.

Beberapa Perguruan Tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta yang dapat menjadi contoh bentuk toleransi adalah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Yayasan Katolik ini menyediakan fasilitas beribadah bagi mahasiswa muslim, di setiap fakultas memiliki mushola yang lengkap dengan sajadah, mukenah, dan sarung. Prijatma selaku Rektor Universitas Sanata Dharma mengungkapkan bahwa permasalahan intoleransi menjadi tidak sederhana dan tidak bisa digeneralisir, oleh karena itu Perguruan Tinggi harus mengambil tanggung jawab peradaban. Pihaknya menjelaskan salah satu bentuk kegiatan konkrit dari toleransi yaitu dengan mengadakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) lintas iman dan budaya.8 Hal ini membuktikan bahwa Perguruan Tinggi non Islam pun dapat menerapkan toleransi antar umat beragama dengan baik. Sehingga diharapkan hal tersebut juga dapat diterapkan kepada mahasiswa non muslim yang terdapat di Perguruan Tinggi Islam khususnya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Penerapan bentuk toleransi, rasa empati dan menghormati sesama manusia erat kaitanya dengan memperjuangkan Hak Asasi Manusia. Kebebasan beragama merupakan Hak Asasi Manusia sebagai upaya ijtihad untuk mengolaborasikan nilai kemanusiaan dan menghargai hak-hak individu di dalam memilih imamnya masing-masing. Inti sari dalam ijtihad dalam hal konteks Hak Asasi Manusia adalah menciptakan perdamaian, resolusi konflik, dan toleransi beragama dengan mendukung kampanye kebebasan agama bagi semua manusia dan membebaskan manusia dalam belenggu diskriminasi.9 Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan seseorang dalam menjalankan ibadahnya merupakan hak asasi, sehingga tindakan yang mengancam dan mendiskriminasikan kepercayaan seseorang tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan yang intoleran karena telah melanggar hak asasinya. Dengan demikian, nilai kemanusiaan yang terlahir dari nilai ketuhanan menjadi penting untuk menjaga keharmonisan dan kecantikan peradaban nusantara yang telah terlahir dari embrio keanekaragaman suku, agama, ras, dan antar golongan.

Share on :

0 komentar:

Posting Komentar

Our Location