Ditulis oleh: Miskar Maini, 28 Mei 2016
Diskusi Mingguan #11 : Kajian Timur Tengah
Maret 26, 2017
Komunitas Akar Rumput
Ditulis oleh: Ahmad Subiyadi, 7 Mei 2016
Awal kata, sebagai
pembuka ada sebuah pepatah yang berbunyi “dari pada mengecam kegelapan,
lebih baik menghidupkan lilin” dari pada mengecam perlakuan dunia
internasional terhadap Timur Tengah, lebih baik mempelajarinya.
Sejauh ini belum ada
pencapaian kesepakatan tentang definisi Timur Tengah, dan bahkan nama itu belum
diterima secara universal. Para sarjana, negarawan, dan jurnalis terkadang
masih memakai dengan istilah Timur Dekat, namun terkadang juga menggunakan kata
Timur Tengah dalam penyebuttannya. Adapun yang dimaksud oleh Timur Dekat yaitu
sebuah penamaan yang lebih tua yang mencakup Asia Barat Daya dan
wilayah-wilayah Eropa Tenggara yang pada masa lalu pernah berada di bawah
kontrol Turki. Sedangkan penyebutan Timur Tengah tampaknya lebih baru, dan
diterima secara luas pada zaman modren ini, oleh karena itu penulis
mendefinisikan Timur Tengah yaitu wilayah-wilayah yang terletak disebelah
Afrika dan Asia Barat dan dikelilingi oleh 7 laut yaitu: Laut Caspian, Laut
Merah, Laut Hitam, Laut Medetarian, Laut Arab, Samdudera Atlantik, dan Laut
Agian, dan terdiri dari 24 negara, mayoritas penduduknya berbahasa dan
berbudaya Arab.
Timur Tengah mempunyai
posisi geografis yang unik, Timur Tengah merupakan wilayah yang terletak pada
pertemuan Eropa, Asia, dan Afrika, dan dengan demikian Timur Tengah menguasai
jalan-jalan strategis yang menuju ketiga benua tersebut. Sehingga perjalanan
paling dekat dan nyaman melalui jalur udara atau laut dari Eropa ke Asia
ataupun sebaliknya yaitu melewati Timur Tengah.
Timur Tengah terletak di
dalam zone tengah yang membentang di antara benua-benua raksasa, kira-kira di
antara garis lintang ke-30 dan ke-40, di sebelah utara zone tengah ini terletak
daratan Rusia yang luas; di sebelah selatannya terdapat ujung-ujung semenanjung Asia yang
pernah berada di bawah kontrol langsung oleh negara-negara adikuasa Barat.
Secara tranditional zone tengah ini merupakan tanah yang di perebutkan antara
kekuatan Rusia dan Barat. Timur Tengah sejak dulu sangat penting bagi Rusia
sebagai wilayah tempat lewat untuk mencapai perairan dan jalur-jalur perniagaan
utama dunia.
Selain keunikan
geografis, Timur Tengah memiliki sifat khas lain yaitu Timur Tengah menjadi
pusat Dunia Agama Samawi (Islam, Kristen, dan Yahudi), karena di sana terdapat
tempat-tempat paling suci, pusat keilmuan agama, dan sebagai latar sejarah
agama-agama samawi. Agama dan budaya telah meresap keseluruh masyarakat Timur
Tengah dan mendarah daging dengan sikap-sikap yang filosofis maka tidak heran
yang dapat merubah Timur Tengah yaitu dengan revolusi radikal seperti yang
terjadi di tanah suci Palestina, selain itu Timur Tengah memiliki
aspirasi-aspirasi Yahudi serta Kristen. Namun, Timur Tengah di balik tanah
gersangnya terdapat sumber minyak terbesar, emas hitamnya bangsa-bangsa. Karena
alasan-alasan ini pentingnya Timur Tengah dari dampaknya terhadap seluruh
bagian dunia. Maka Timur Tengah sangat rentang akan intervensi kepentingan di
mata percaturan dunia internasional dengan cara mengambil peran dan mengatur
strategi, seperti penyebar virus penyakit sekaligus menawarkan obat
penangkalnya, hal itu demi tercapainya tujuan negara masing-masing dari
mengambil sari pati yang dimiliki oleh Timur Tengah.
Faktor terbesar dari
konflik Timur Tengah adalah nosionalisme, perbedaan luas wilyah, hukum laut
internasional, sumber air dan juga perbatasan sebagai berikut:
Nasionalisme
adalah loyalitas, kesetiaan atau kesediaan seseorang yang mau mengikatkan
dari pada seseorang pada satu wilayah.
Problem utama pada Timur
Tengah yaitu karena identitas yang dibuat oleh kolonial yang kemudian etnik
pada timur Tengah dipecah-belah, sehingga identitasnya dapat menimbulkan
perbedaan-perbedaan dan oleh sebab itu membentuk perbatasan-perbatasan yang
menjadikan beberapa rasa nasionalisme yang terbagi menjadi 4 bagian yaitu Qaumiyah
(etnik), Ummah (agama), Wathoniyah (negara), Ashobiyah
(kerabat). Permasalah kedua yaitu dikarenakan oleh perbedaan luas atau posisi
negara-negara Timur Tengah sehingga kecenderungan wilayah saling ingin
mencaplok. Permasalah ketiga yang dihadapi Timur Tengah yaitu hukum laut
internatioanal yang membuat aturan bahwa
batas wilayah dari darat kelaut adalah 12 mil, sedangkan Timur Tengah tidak
dapat memenuhi 12 mil dari hukum international. Keempat yaitu karena Timur
Tengah banyak ditemukannya sumber kekayaan diperbatasan sehingga memicu
perebutan yang sengit untuk menguasai. Permasalah yang terakhir disebabkan
karena ada dua sumber air yaitu sungai yang membelah dua wilayah yang sulit
untuk menentukan perbatasannya.
Pengertian perbatasan
yaitu hal yang membatasi dua wiliyah / negara dan untuk berfungsi melindungi
sebuah wilayah.
Macam-macam
konflik perbatasan:
1. Territorial Disputes (wilayah yang
diperebutkan oleh dua negara)
2. Functional Disputes (perbatasan yang
memiliki peralihan fungsi)
3. Pontensial Dispute s (potensi konflik
yang terjadi diperbatasan)
4. Trans Boundary Resource Disputes (
sengketa perbatasan karena ditemukannya kekayaan pada perbatasan tersebut).
Proses-proses
perbatasan :
1. Allocation (saling pengertian pada suatu
perbatasan)
2. Delimetion (kesepakatan)
3. Demarcation (bentuk penegasan suatu
perbatasan )
4. Administration (mendaftarkan pada suatu
kewenangan).
Akhir kata, menelisik dari teropong
dinamika yang terjadi, kehidupan politik dan hubungan international di Timur
Tengah sering diwarnai dengan kekerasan yang terkadang membingungkan dan
berkontradiksi seperti benang yang kusut semakin mencoba mengurai semakin
kusut, jalan satu-satunya yaitu dengan memotong benang tersebut dan
menyambungnya kembali, namun dari hal itu akan tertinggal bekas yang tidak
mungkin dihilangkan.
Download materi ini
Komunitas Akar Rumput: Mengakar kuat, Memberi Manfaat
Maret 26, 2017
Komunitas Akar Rumput
Permasalahan sosial dan
pendidikan merupakan fenomena klasik yang belum terselesaikan di negeri ini. Kurangnya kepedulian
terhadap kegiatan sosial kemasyarakatan, serta kurangnya budaya membaca dan
masih awamnya diskusi di ruang publik menyebabkan hal ini menjadi semakin sukar
untuk mencapai benang merah dalam penyelesaian terhadap permasalahan tersebut. Berdasarkan
latar belakang ini, Komunitas Akar Rumput berinisiasi untuk mencoba
menyelesaikan permasalahan tersebut di Kota Pelajar, Yogyakarta.
Sepuluh Oktober 2015 menjadi
sejarah terbentuknya komunitas ini yang anggotanya berasal dari mahasiswa
pascasarjana yang berlatar belakang daerah yang beragam dan dari multi disiplin
ilmu di UGM. Lambat laun, Akar Rumput mulai bertambah anggotanya yang berasal
dari mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, UNY, Universitas Atmajaya, dan perguruan
tinggi lainnya, serta dari masyarakat umum.
“Mengakar Kuat Memberi
Manfaat” menjadi slogan bagi komunitas ini, memulai dengan hal yang sederhana
namun dilakukan tekun dan senang hati, yaitu membaca buku. Tujuannya adalah
untuk membiasakan kegiatan sosial dan membudayakan membaca di ruang publik,
tidak sekedar bermain ataupun berekreasi, tapi dapat sekaligus meluangkan waktu
beberapa saat untuk menambah wawasan dan pengetahuan dengan membaca.
Komunitas ini pada awalnya
hanya sekedar kumpul-kumpul di perpustakaan kampus pada waktu siang dan di
warung-warung kopi pada waktu malam untuk membaca buku, berdiskusi serta
membahas keresahan yang ada di negeri ini. Pada akhirnya, komunitas ini
berinisiatif untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang positif, tidak hanya untuk
dirinya, namun juga bermanfaat untuk masyarakat pada umumnya.
Diskusi Mingguan #3 : Agama Lokal
Maret 26, 2017
Komunitas Akar Rumput
(Ditulis oleh: Abdul Mujib)
Pembahasan tentang agama
(maupun yang lain) seringkali memunculkan dikotomi; agama bisa dipahami sebagai
firman tuhan atau tradisi. Secara akademik, tulisan ini mencoba untuk melihat
agama dari perspektif yang berbeda. Wilfred Cantwel Smith (1964) mengungkapkan
bahwa terbentuknya agama secara institusional sekitar abad ke-16, dimana pada
saat itu Kristen sebagai prototype (model) bagi kiblat terbentuknya
agama yang lain. Standararisasi agama yang terdiri dari adanya kepercayaan
Tuhan, doktrin serta penganutnya ini (yang harus transnasional; agama harus
dianut diberbagai negara), dalam bukunya disebut reifikasi, yaitu peng-empirisan
yang abstrak (atau lebih tepatnya, penarikan garis kesamaan tentang apa yang
disebut agama). Karena sebelum zaman kolonial, di Barat, agama bagi pemeluknya
dipahami sebagai community yang lekat dengan kerajaan atau
negara.
Untuk
kasus Hindu dan Budha mempunyai perlakukan/ proses yang berbeda. Masih akibat
dari post-kolonial, hindu dan budha dianggap sebagai agama karena untuk menyebut
daerah jajahan Barat yaitu India. Untuk menggolongkannya, mereka “dipaksa”
untuk mempunyai Tuhan dengan cara melabeli –ism,
sehingga menjadi Hinduism dan Budhism. Kedua agama ini yang pada awalnya
(hanya) tradisi, berkembang ke berbagai belahan dunia. Untuk Islam, yang
menolak untuk disebut Mohammadism,
mempunyai daya tawar pada saat itu. Oleh karena itu, agama dalam akademik
merupakan social construction;
agama bukan dianggap sebagai yang lahir secara alamiah, tetapi agama hidup
dalam sejarah manusia (Bagir, 2015).
Di
Indonesia, ketika zaman Sukarno, masih mengakui beberapa agama dunia dan aliran
kepercayaan. Akan tetapi setelah beralih ke era Suharto selaku presiden ia
menerbitkan peraturan PNPS No. 1 tahun 1965 yang membatasi hanya world religion
yang diakui di Indonesia. Peraturan tersebut menghapus legalitas aliran
kepercayaan dan kong hu cu. Sehingga dimulai pada tahun tersebut, Agama
missionaris dan dakwah berlomba-lomba untuk mengagamakan orang yang
“dianggap” belum beragama.
Dengan
berlakunya peraturan tersebut, banyak penganut agama lokal (agama asli
Indonesia, seperti sunda wiwitan, amatoa, permalim, dll), meskipun mereka
ber-KTP Islam atau Kristen, mereka tetap menjalankan ritual (lokal) mereka.
sehingga masih banyak dari mereka yang dianggap musyrik karena masih
menjalankan ritualnya. Padahal mereka mempunyai cara tersendiri yang memahami
agama.
Meskipun
pemerintah Indonesia menjamin warganya untuk bebas memeluk agamanya
masing-masing sesuai dengan pasal 29 dan juga pondasi Pancasila sila ke-1
tentang Ketuhanan yang Maha Esa, agama lokal belum bisa diakui sebagai agama.
Tentunya hal ini menimbulkan kecemburuan dengan apa yang dilakukan oleh Hindu
(yang punya banyak Tuhan) dan Budha (yang tidak bertuhan). Oleh karena
agama-agama itu mempunyai jaringan transnasional, sehingga pemerintah mampu
mengkondisikan mereka (seolah-olah) bertuhan dan Esa.
Perspektif atau paradigma antara agama dunia dan agama lokal:
Perbedaan
mendasar antara agama dunia dan agama lokal adalah posisi tuhan maupun alam
terhadap manusia. Pada agama dunia (utamanya Islam-Kristen) posisi Tuhan selalu
diatas manusia dan alam diciptakan oleh Tuhan untuk manusia. Sedangkan pada
agama lokal, Tuhan (mungkin kita sering menyebut dengan roh/ animism) bisa
berada dimana-mana seperti pohon atau gunung. Antara Tuhan dan alam adalah
sederajat dengan manusia itu sendiri selaku subjek, dan alam bukan sebagai
objek, melainkan subjek yang lain. Oleh karena itu, secara akademik, ada
istilah inter-subjektif.
Inter-subjektif
merupakan pola relasi antara manusia dengan alam atau manusia dengan Tuhan.
Oleh karena itu, ketika ada penganut adat tertentu yang membawa sesajen (misal)
ke hutan, bisa jadi itu adalah ungkapan rasa syukur atau sembah kepada Tuhan.
Akan tetapi ketika kita melihat ritual tersebut dari kacamata world religion,
maka mereka bisa dikatakan sesat‟ atau ajarannya tidak sesuai dengan
(katakanlah) syariat atau missionari.
Dampak
dari perbedaan paradigma tersebut memunculkan agama yang mayoritas dan
minoritas atau bahkan agama superior dan inferior, yang memunculkan perlakuan
diskriminasi. Hal ini, tentu saja, berpengaruh pada pengakuan hak-hak sebagai
warga negara, misalnya Kolom KTP yang mempengaruhi hak-hak penganut agama
lokal terhadap kebebasan mereka di ruang publik seperti tidak bisa menjadi
pejabat negara, ataupun hak untuk mendapatkan anggaran negara. Paradigma agama
lokal ini bisa jadi juga digunakan untuk memahami mengapa orang-orang pendalaman
mempertahankan hutan mereka mati- matian, tentu ini erat kaitannya dengan
isu-isu menjaga/melestarikan lingkungan.
Diskusi Mingguan #1 : -Review Buku- Sistem Tanam Paksa di Jawa
Maret 26, 2017
Komunitas Akar Rumput
Reviewer: Ronal Ridlo'i, 7 Februari 2016
Indonesia pada periode abad ke-19 sangat
menarik untuk dibicarakan. Hal itu dikarenakan dalam kurun waktu tersebut mulai
ada upaya modernisasi dari orang-orang Eropa, khususnya Belanda. Seperti dalam
buku Sistem
Tanam Paksa di Jawa karya
Robert van Niel yang membahas pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Jawa, berbagai
permasalahan sistem tersebut sampai warisan yang ditinggalkan untuk Indonesia,
khususnya Pulau Jawa.
Berbagai kajian mengenai
Sistem Tanam Paksa atau cultuurstelsel telah banyak dibahas oleh sejarawan.
Mereka banyak berbicara mengenai bagaimana awal mula penerapan sistem ini,
keuntungan dan kerugian bagi penduduk lokal Jawa, permasalahan hak milik tanah,
buruh perkebunan dan sebagainya. Nampaknya, ide Gubernur Jendral Van den Bosch
(1830) ini membawa banyak pengaruh bagi ekologi Jawa (lingkungan dan
penduduknya). Dalam buku ini, van Niel memaparkan bahwasanya Sistem Tanam
Paksa yang diberlakukan di Jawa ini membawa pengaruh besar bagi perkembangan
ekonomi pada periode berikutnya. Van Niel merepresentasikan pelaksanaan tanam
paksa ini dengan sudut pandang ekonomi. Ia melihat kemunculan basis-basis
ekonomi baru setelah diperkenalkan komoditi ekspor bagi penduduk Jawa.
Dalam buku ini, van Niel
menjelaskan secara umum pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di beberapa Karesidenan
di Pulau Jawa, seperti Cirebon, Pekalongan, Semarang, Surabaya, Pasuruan dan
Besuki. Daerah-daerah tersebut merupakan basis perkebunan tebu yang mampu
menghasilkan ribuan ton tebu/tahunnya untuk kemudian diproses menjadi gula
sebelum diekspor ke pasar internasional. Gula dari Hindia-Belanda (Indonesia)
sangat laku di pasar internasional karena harganya yang murah dan rasa yang
mampu bersaing dengan gula dari negara lain. Hal inilah yang menyebabkan
pemerintah kolonial melakukan penanaman besar-besaran di Pulau Jawa. Pemerintah
kolonial melakukan eksploitasi secara besar-besaran, tapi anehnya penduduk
lokal Jawa tidak merasa dieksploitasi. Ini merupakan kecerdikan orang Belanda
yang selalu ikut campur urusan birokrasi lokal. Mereka berhasil menguasai dan
mempengaruhi para penguasa lokal (bupati, wedono dan kepala desa) agar bisa
menggerakkan penduduk setempat untuk menanam tebu secara serentak tanpa adanya
konflik fisik.
Berbicara tentang Sistem
Tanam Paksa maka tidak dapat dilepaskan dari komoditi ekspor, sistem penanaman,
tenaga kerja murah dan tanah. Van Niel menjelaskan beberapa hal tersebut secara
umum berdasarkan studi kasus di daerah-daerah tertentu di Jawa. Pertama yaitu
komoditi ekspor, dalam buku ini tidak dijelaskan secara rinci mengenai komoditi
ekspor apa saja yang ditanam ketika diberlakukan program tanam paksa. Hanya
pembahasan mengenai komoditi tebu yang dikupas secara khusus dalam setiap bab.
Hal ini memang wajar karena van Niel memfokuskan kajiannya pada perkebunan tebu
saja. Sementara komoditi ekspor yang lain seperti kopi, teh, nila dan tembakau
tidak secara khusus dijelaskan dalam tiap babnya.
Kedua, yaitu sistem
penanaman yang diberlakukan. Pada periode awal 1830an, tebu ditanam di
lahan-lahan yang sebelumnya adalah sawah milik penduduk. Kebijakan Van den
Bosch mengharuskan 1/5 sawah yang dimiliki penduduk harus ditanami tebu,
walaupun nanti keadaannya akan berbalik. Justru sawah penduduk yang digunakan
untuk tanaman padi berkurang dari 4/5 menjadi 1/5. Penduduk pribumi pun tidak
ada yang bisa melawan pada saat itu karena sebenarnya tanah persawahan yang
mereka miliki adalah milik bupati atau kepala desa. Penduduk pribumi hanya
diberi tanah untuk digarap dan harus menyetorkan pajak berupa hasil bumi untuk
bisa menetap di tanah tersebut. Ketika Belanda datang beban mereka pun
bertambah. Di satu sisi penduduk pribumi harus menyetorkan pajak hasil bumi ke
bupati atau kepala desa, di sisi lain mereka juga harus rela sawahnya ditanami
tebu untuk kepentingan kolonial.
Ketiga, yaitu hak atas
tanah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penduduk pribumi tidak
mempunyai hak atas tanah karena mereka hanya menempati dan mengolah tanah
pemberian bupati atau kepala desa. Setiap desa dibagi menjadi satuan cacah (satu keluarga) dan setiap cacah
ini yang berkewajiban mengolah tanah dan harus memberikan setoran wajib kepada
kepala desa setiap selesai panen. Pada perkembangannya, para bupati juga
menyewakan tanah-tanah tersebut kepada pengusaha-pengusaha Eropa dan Cina,
sehingga proporsi tanah untuk pribumi lambat laun semakin berkurang. Hal ini
yang kemudian mengakibatkan penduduk pribumi banyak yang menjadi buruh
perkebunan daripada mengolah tanah mereka sendiri. Dan kebanyakan dari mereka
bekerja sebagai buruh di tanah-tanah pengusaha swasta (orang Eropa dan Cina).
Keempat yaitu tenaga
kerja (buruh). Produksi gula di Jawa semakin tinggi dan harga gulanya pun
murah, sehingga nilai ekspor komoditi ini pada abad ke-19 sampai dekade ketiga
abad ke-20 memang cukup besar. Hal ini dikarenakan upah buruh perkebunan pada
saat itu yang relatif rendah. Penduduk pribumi yang menggarap tanah harus
menyetorkan pajak hasil bumi (sebagai sewa tanah), tetapi yang bekerja untuk
perkebunan tebu tidak harus menyetor pajak tersebut. Jadi mereka kemudian
menjadi buruh tanam, buruh tebang dan buruh angkut tebu. Di pabrik-pabrik gula
pun penduduk pribumi juga menjadi buruh rendahan karena posisi mandor/pengawas
banyak diisi oleh golongan priyayi dan orang Cina. Sementara orang Eropa, khususnya
orang-orang Belanda bekerja di bagian kantor.
Walaupun penduduk
pribumi dan lingkungan di Jawa telah dieksploitasi oleh pemerintah kolonial
tapi mereka meninggalkan warisan bagi perkembangan ekonomi Jawa. Van Niel
menyebutkan ada 3 warisan Sistem Tanam Paksa, yaitu: pembentukan modal, tenaga
kerja murah dan ekonomi pedesaan. Pembentukan modal berkembang pada periode
selanjutnya karena pemerintah kolonial dan para pengusaha swasta (Eropa dan
Cina) menanamkan modal untuk perkebunan dan industri gula di Jawa. Hal ini
disebabkan karena kondisi ekologis di Jawa yang sangat mendukung (tenaga kerja
yang murah disertai lingkungan yang cocok untuk ditanami tebu). Selanjutnya,
sistem ekonomi pedesaan mulai muncul karena sudah ada kegiatan industri,
perburuhan, bahkan penanaman modal oleh pemerintah dan swasta asing. Jadi,
Sistem Tanam Paksa di Jawa merupakan upaya modernisasi untuk
mengembangkan desa (unit terkecil sistem administrasi daerah) sebagai basis
produksi yang bisa membawa perekonomian Jawa ke tingkat dunia.
*Sistem Tanam Paksa di Jawa. Penulis:
Robert van Niel. Jakarta: LP3ES, 2003. Hlm viii, 308, bibliografi + indeks.
Langganan:
Postingan (Atom)