Diskusi Mingguan #14 : Infrastruktur Indonesia

Ditulis oleh: Miskar Maini, 28 Mei 2016

Diskusi Mingguan #11 : Kajian Timur Tengah

Ditulis oleh: Ahmad Subiyadi, 7 Mei 2016


Awal kata, sebagai pembuka ada sebuah pepatah yang berbunyi “dari pada mengecam kegelapan, lebih baik menghidupkan lilin” dari pada mengecam perlakuan dunia internasional terhadap Timur Tengah, lebih baik mempelajarinya.

Sejauh ini belum ada pencapaian kesepakatan tentang definisi Timur Tengah, dan bahkan nama itu belum diterima secara universal. Para sarjana, negarawan, dan jurnalis terkadang masih memakai dengan istilah Timur Dekat, namun terkadang juga menggunakan kata Timur Tengah dalam penyebuttannya. Adapun yang dimaksud oleh Timur Dekat yaitu sebuah penamaan yang lebih tua yang mencakup Asia Barat Daya dan wilayah-wilayah Eropa Tenggara yang pada masa lalu pernah berada di bawah kontrol Turki. Sedangkan penyebutan Timur Tengah tampaknya lebih baru, dan diterima secara luas pada zaman modren ini, oleh karena itu penulis mendefinisikan Timur Tengah yaitu wilayah-wilayah yang terletak disebelah Afrika dan Asia Barat dan dikelilingi oleh 7 laut yaitu: Laut Caspian, Laut Merah, Laut Hitam, Laut Medetarian, Laut Arab, Samdudera Atlantik, dan Laut Agian, dan terdiri dari 24 negara, mayoritas penduduknya berbahasa dan berbudaya Arab.

Timur Tengah mempunyai posisi geografis yang unik, Timur Tengah merupakan wilayah yang terletak pada pertemuan Eropa, Asia, dan Afrika, dan dengan demikian Timur Tengah menguasai jalan-jalan strategis yang menuju ketiga benua tersebut. Sehingga perjalanan paling dekat dan nyaman melalui jalur udara atau laut dari Eropa ke Asia ataupun sebaliknya yaitu melewati Timur Tengah.

Timur Tengah terletak di dalam zone tengah yang membentang di antara benua-benua raksasa, kira-kira di antara garis lintang ke-30 dan ke-40, di sebelah utara zone tengah ini terletak daratan Rusia yang luas; di sebelah selatannya  terdapat ujung-ujung semenanjung Asia yang pernah berada di bawah kontrol langsung oleh negara-negara adikuasa Barat. Secara tranditional zone tengah ini merupakan tanah yang di perebutkan antara kekuatan Rusia dan Barat. Timur Tengah sejak dulu sangat penting bagi Rusia sebagai wilayah tempat lewat untuk mencapai perairan dan jalur-jalur perniagaan utama dunia.

Selain keunikan geografis, Timur Tengah memiliki sifat khas lain yaitu Timur Tengah menjadi pusat Dunia Agama Samawi (Islam, Kristen, dan Yahudi), karena di sana terdapat tempat-tempat paling suci, pusat keilmuan agama, dan sebagai latar sejarah agama-agama samawi. Agama dan budaya telah meresap keseluruh masyarakat Timur Tengah dan mendarah daging dengan sikap-sikap yang filosofis maka tidak heran yang dapat merubah Timur Tengah yaitu dengan revolusi radikal seperti yang terjadi di tanah suci Palestina, selain itu Timur Tengah memiliki aspirasi-aspirasi Yahudi serta Kristen. Namun, Timur Tengah di balik tanah gersangnya terdapat sumber minyak terbesar, emas hitamnya bangsa-bangsa. Karena alasan-alasan ini pentingnya Timur Tengah dari dampaknya terhadap seluruh bagian dunia. Maka Timur Tengah sangat rentang akan intervensi kepentingan di mata percaturan dunia internasional dengan cara mengambil peran dan mengatur strategi, seperti penyebar virus penyakit sekaligus menawarkan obat penangkalnya, hal itu demi tercapainya tujuan negara masing-masing dari mengambil sari pati yang dimiliki oleh Timur Tengah.

Faktor terbesar dari konflik Timur Tengah adalah nosionalisme, perbedaan luas wilyah, hukum laut internasional, sumber air dan juga perbatasan sebagai berikut:

 Nasionalisme  adalah loyalitas, kesetiaan atau kesediaan seseorang yang mau mengikatkan dari pada seseorang pada satu wilayah.

Problem utama pada Timur Tengah yaitu karena identitas yang dibuat oleh kolonial yang kemudian etnik pada timur Tengah dipecah-belah, sehingga identitasnya dapat menimbulkan perbedaan-perbedaan dan oleh sebab itu membentuk perbatasan-perbatasan yang menjadikan beberapa rasa nasionalisme yang terbagi menjadi 4 bagian yaitu Qaumiyah (etnik), Ummah (agama), Wathoniyah (negara), Ashobiyah (kerabat). Permasalah kedua yaitu dikarenakan oleh perbedaan luas atau posisi negara-negara Timur Tengah sehingga kecenderungan wilayah saling ingin mencaplok. Permasalah ketiga yang dihadapi Timur Tengah yaitu hukum laut internatioanal  yang membuat aturan bahwa batas wilayah dari darat kelaut adalah 12 mil, sedangkan Timur Tengah tidak dapat memenuhi 12 mil dari hukum international. Keempat yaitu karena Timur Tengah banyak ditemukannya sumber kekayaan diperbatasan sehingga memicu perebutan yang sengit untuk menguasai. Permasalah yang terakhir disebabkan karena ada dua sumber air yaitu sungai yang membelah dua wilayah yang sulit untuk menentukan perbatasannya.

Pengertian perbatasan yaitu hal yang membatasi dua wiliyah / negara dan untuk berfungsi melindungi sebuah wilayah.
Macam-macam konflik perbatasan:
1.        Territorial Disputes (wilayah yang diperebutkan oleh dua negara)
2.        Functional Disputes (perbatasan yang memiliki peralihan fungsi)
3.        Pontensial Dispute s (potensi konflik yang terjadi diperbatasan)
4.        Trans Boundary Resource Disputes ( sengketa perbatasan karena ditemukannya kekayaan pada perbatasan tersebut).
Proses-proses perbatasan :
1.        Allocation (saling pengertian pada suatu perbatasan)
2.        Delimetion (kesepakatan)
3.        Demarcation (bentuk penegasan suatu perbatasan )
4.        Administration (mendaftarkan pada suatu kewenangan).


            Akhir kata, menelisik dari teropong dinamika yang terjadi, kehidupan politik dan hubungan international di Timur Tengah sering diwarnai dengan kekerasan yang terkadang membingungkan dan berkontradiksi seperti benang yang kusut semakin mencoba mengurai semakin kusut, jalan satu-satunya yaitu dengan memotong benang tersebut dan menyambungnya kembali, namun dari hal itu akan tertinggal bekas yang tidak mungkin dihilangkan.

Download materi ini

Komunitas Akar Rumput: Mengakar kuat, Memberi Manfaat

Permasalahan sosial dan pendidikan merupakan fenomena klasik yang belum terselesaikan di negeri ini. Kurangnya kepedulian terhadap kegiatan sosial kemasyarakatan, serta kurangnya budaya membaca dan masih awamnya diskusi di ruang publik menyebabkan hal ini menjadi semakin sukar untuk mencapai benang merah dalam penyelesaian terhadap permasalahan tersebut. Berdasarkan latar belakang ini, Komunitas Akar Rumput berinisiasi untuk mencoba menyelesaikan permasalahan tersebut di Kota Pelajar, Yogyakarta.

Sepuluh Oktober 2015 menjadi sejarah terbentuknya komunitas ini yang anggotanya berasal dari mahasiswa pascasarjana yang berlatar belakang daerah yang beragam dan dari multi disiplin ilmu di UGM. Lambat laun, Akar Rumput mulai bertambah anggotanya yang berasal dari mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, UNY, Universitas Atmajaya, dan perguruan tinggi lainnya, serta dari masyarakat umum.

 “Mengakar Kuat Memberi Manfaat” menjadi slogan bagi komunitas ini, memulai dengan hal yang sederhana namun dilakukan tekun dan senang hati, yaitu membaca buku. Tujuannya adalah untuk membiasakan kegiatan sosial dan membudayakan membaca di ruang publik, tidak sekedar bermain ataupun berekreasi, tapi dapat sekaligus meluangkan waktu beberapa saat untuk menambah wawasan dan pengetahuan dengan membaca.

Komunitas ini pada awalnya hanya sekedar kumpul-kumpul di perpustakaan kampus pada waktu siang dan di warung-warung kopi pada waktu malam untuk membaca buku, berdiskusi serta membahas keresahan yang ada di negeri ini. Pada akhirnya, komunitas ini berinisiatif untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang positif, tidak hanya untuk dirinya, namun juga bermanfaat untuk masyarakat pada umumnya.










Diskusi Mingguan #3 : Agama Lokal


(Ditulis oleh: Abdul Mujib) 
Pembahasan tentang agama (maupun yang lain) seringkali memunculkan dikotomi; agama bisa dipahami sebagai firman tuhan atau tradisi. Secara akademik, tulisan ini mencoba untuk melihat agama dari perspektif yang berbeda. Wilfred Cantwel Smith (1964) mengungkapkan bahwa terbentuknya agama secara institusional sekitar abad ke-16, dimana pada saat itu Kristen sebagai prototype (model) bagi kiblat terbentuknya agama yang lain. Standararisasi agama yang terdiri dari adanya kepercayaan Tuhan, doktrin serta penganutnya ini (yang harus transnasional; agama harus dianut diberbagai negara), dalam bukunya disebut reifikasi, yaitu peng-empirisan yang abstrak (atau lebih tepatnya, penarikan garis kesamaan tentang apa yang disebut agama). Karena sebelum zaman kolonial, di Barat, agama bagi pemeluknya dipahami sebagai community yang lekat dengan kerajaan atau negara.
Untuk kasus Hindu dan Budha mempunyai perlakukan/ proses yang berbeda. Masih akibat dari post-kolonial, hindu dan budha dianggap sebagai agama karena untuk menyebut daerah jajahan Barat yaitu India. Untuk menggolongkannya, mereka “dipaksa” untuk mempunyai Tuhan dengan cara melabeli –ism, sehingga menjadi Hinduism dan Budhism. Kedua agama ini yang pada awalnya (hanya) tradisi, berkembang ke berbagai belahan dunia. Untuk Islam, yang menolak untuk disebut Mohammadism, mempunyai daya tawar pada saat itu. Oleh karena itu, agama dalam akademik merupakan social construction; agama bukan dianggap sebagai yang lahir secara alamiah, tetapi agama hidup dalam sejarah manusia (Bagir, 2015).
Di Indonesia, ketika zaman Sukarno, masih mengakui beberapa agama dunia dan aliran kepercayaan. Akan tetapi setelah beralih ke era Suharto selaku presiden ia menerbitkan peraturan PNPS No. 1 tahun 1965 yang membatasi hanya world religion yang diakui di Indonesia. Peraturan tersebut menghapus legalitas aliran kepercayaan dan kong hu cu. Sehingga dimulai pada tahun tersebut, Agama missionaris dan dakwah  berlomba-lomba untuk mengagamakan orang yang “dianggap” belum beragama.
Dengan berlakunya peraturan tersebut, banyak penganut agama lokal (agama asli Indonesia, seperti sunda wiwitan, amatoa, permalim, dll), meskipun mereka ber-KTP Islam atau Kristen, mereka tetap menjalankan ritual (lokal) mereka. sehingga masih banyak dari mereka yang dianggap musyrik karena masih menjalankan ritualnya. Padahal mereka mempunyai cara tersendiri yang memahami agama.
Meskipun pemerintah Indonesia menjamin warganya untuk bebas memeluk agamanya masing-masing sesuai dengan pasal 29 dan juga pondasi Pancasila sila ke-1 tentang Ketuhanan yang Maha Esa, agama lokal belum bisa diakui sebagai agama. Tentunya hal ini menimbulkan kecemburuan dengan apa yang dilakukan oleh Hindu (yang punya banyak Tuhan) dan Budha (yang tidak bertuhan). Oleh karena agama-agama itu mempunyai jaringan transnasional, sehingga pemerintah mampu mengkondisikan mereka (seolah-olah) bertuhan dan Esa.

Perspektif atau paradigma antara agama dunia dan agama lokal:


Perbedaan mendasar antara agama dunia dan agama lokal adalah posisi tuhan maupun alam terhadap manusia. Pada agama dunia (utamanya Islam-Kristen) posisi Tuhan selalu diatas manusia dan alam diciptakan oleh Tuhan untuk manusia. Sedangkan pada agama lokal, Tuhan (mungkin kita sering menyebut dengan roh/ animism) bisa berada dimana-mana seperti pohon atau gunung. Antara Tuhan dan alam adalah sederajat dengan manusia itu sendiri selaku subjek, dan alam bukan sebagai objek, melainkan subjek yang lain. Oleh karena itu, secara akademik, ada istilah inter-subjektif.
Inter-subjektif merupakan pola relasi antara manusia dengan alam atau manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu, ketika ada penganut adat tertentu yang membawa sesajen (misal) ke hutan, bisa jadi itu adalah ungkapan rasa syukur atau sembah kepada Tuhan. Akan tetapi ketika kita melihat ritual tersebut dari kacamata world religion, maka mereka bisa dikatakan sesat atau ajarannya tidak sesuai dengan (katakanlah) syariat atau missionari.
Dampak dari perbedaan paradigma tersebut memunculkan agama yang mayoritas dan minoritas atau bahkan agama superior dan inferior, yang memunculkan perlakuan diskriminasi. Hal ini, tentu saja, berpengaruh pada pengakuan hak-hak sebagai warga  negara, misalnya Kolom KTP yang mempengaruhi hak-hak penganut agama lokal terhadap kebebasan mereka di ruang publik seperti tidak bisa menjadi pejabat negara, ataupun hak untuk mendapatkan anggaran negara. Paradigma agama lokal ini bisa jadi juga digunakan untuk memahami mengapa orang-orang pendalaman mempertahankan hutan mereka mati- matian, tentu ini erat kaitannya dengan isu-isu menjaga/melestarikan lingkungan.



Diskusi Mingguan #1 : -Review Buku- Sistem Tanam Paksa di Jawa

Reviewer: Ronal Ridlo'i, 7 Februari 2016

Indonesia pada periode abad ke-19 sangat menarik untuk dibicarakan. Hal itu dikarenakan dalam kurun waktu tersebut mulai ada upaya modernisasi dari orang-orang Eropa, khususnya Belanda. Seperti dalam buku Sistem Tanam Paksa di Jawa karya Robert van Niel yang membahas pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Jawa, berbagai permasalahan sistem tersebut sampai warisan yang ditinggalkan untuk Indonesia, khususnya Pulau Jawa.

Berbagai kajian mengenai Sistem Tanam Paksa atau cultuurstelsel telah banyak dibahas oleh sejarawan. Mereka banyak berbicara mengenai bagaimana awal mula penerapan sistem ini, keuntungan dan kerugian bagi penduduk lokal Jawa, permasalahan hak milik tanah, buruh perkebunan dan sebagainya. Nampaknya, ide Gubernur Jendral Van den Bosch (1830) ini membawa banyak pengaruh bagi ekologi Jawa (lingkungan dan penduduknya).  Dalam buku ini, van Niel memaparkan bahwasanya Sistem Tanam Paksa yang diberlakukan di Jawa ini membawa pengaruh besar bagi perkembangan ekonomi pada periode berikutnya. Van Niel merepresentasikan pelaksanaan tanam paksa ini dengan sudut pandang ekonomi. Ia melihat kemunculan basis-basis ekonomi baru setelah diperkenalkan komoditi ekspor bagi penduduk Jawa.

Dalam buku ini, van Niel menjelaskan secara umum pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di beberapa Karesidenan di Pulau Jawa, seperti Cirebon, Pekalongan, Semarang, Surabaya, Pasuruan dan Besuki. Daerah-daerah tersebut merupakan basis perkebunan tebu yang mampu menghasilkan ribuan ton tebu/tahunnya untuk kemudian diproses menjadi gula sebelum diekspor ke pasar internasional. Gula dari Hindia-Belanda (Indonesia) sangat laku di pasar internasional karena harganya yang murah dan rasa yang mampu bersaing dengan gula dari negara lain. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah kolonial melakukan penanaman besar-besaran di Pulau Jawa. Pemerintah kolonial melakukan eksploitasi secara besar-besaran, tapi anehnya penduduk lokal Jawa tidak merasa dieksploitasi. Ini merupakan kecerdikan orang Belanda yang selalu ikut campur urusan birokrasi lokal. Mereka berhasil menguasai dan mempengaruhi para penguasa lokal (bupati, wedono dan kepala desa) agar bisa menggerakkan penduduk setempat untuk menanam tebu secara serentak tanpa adanya konflik fisik.

Berbicara tentang Sistem Tanam Paksa maka tidak dapat dilepaskan dari komoditi ekspor, sistem penanaman, tenaga kerja murah dan tanah. Van Niel menjelaskan beberapa hal tersebut secara umum berdasarkan studi kasus di daerah-daerah tertentu di Jawa. Pertama yaitu komoditi ekspor, dalam buku ini tidak dijelaskan secara rinci mengenai komoditi ekspor apa saja yang ditanam ketika diberlakukan program tanam paksa. Hanya pembahasan mengenai komoditi tebu yang dikupas secara khusus dalam setiap bab. Hal ini memang wajar karena van Niel memfokuskan kajiannya pada perkebunan tebu saja. Sementara komoditi ekspor yang lain seperti kopi, teh, nila dan tembakau tidak secara khusus dijelaskan dalam tiap babnya.

Kedua, yaitu sistem penanaman yang diberlakukan. Pada periode awal 1830an, tebu ditanam di lahan-lahan yang sebelumnya adalah sawah milik penduduk. Kebijakan Van den Bosch mengharuskan 1/5 sawah yang dimiliki penduduk harus ditanami tebu, walaupun nanti keadaannya akan berbalik. Justru sawah penduduk yang digunakan untuk tanaman padi berkurang dari 4/5 menjadi 1/5. Penduduk pribumi pun tidak ada yang bisa melawan pada saat itu karena sebenarnya tanah persawahan yang mereka miliki adalah milik bupati atau kepala desa. Penduduk pribumi hanya diberi tanah untuk digarap dan harus menyetorkan pajak berupa hasil bumi untuk bisa menetap di tanah tersebut. Ketika Belanda datang beban mereka pun bertambah. Di satu sisi penduduk pribumi harus menyetorkan pajak hasil bumi ke bupati atau kepala desa, di sisi lain mereka juga harus rela sawahnya ditanami tebu untuk kepentingan kolonial.

Ketiga, yaitu hak atas tanah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penduduk pribumi tidak mempunyai hak atas tanah karena mereka hanya menempati dan mengolah tanah pemberian bupati atau kepala desa. Setiap desa dibagi menjadi satuan cacah (satu keluarga) dan setiap cacah ini yang berkewajiban mengolah tanah dan harus memberikan setoran wajib kepada kepala desa setiap selesai panen. Pada perkembangannya, para bupati juga menyewakan tanah-tanah tersebut kepada pengusaha-pengusaha Eropa dan Cina, sehingga proporsi tanah untuk pribumi lambat laun semakin berkurang. Hal ini yang kemudian mengakibatkan penduduk pribumi banyak yang menjadi buruh perkebunan daripada mengolah tanah mereka sendiri. Dan kebanyakan dari mereka bekerja sebagai buruh di tanah-tanah pengusaha swasta (orang Eropa dan Cina).

Keempat yaitu tenaga kerja (buruh). Produksi gula di Jawa semakin tinggi dan harga gulanya pun murah, sehingga nilai ekspor komoditi ini pada abad ke-19 sampai dekade ketiga abad ke-20 memang cukup besar. Hal ini dikarenakan upah buruh perkebunan pada saat itu yang relatif rendah. Penduduk pribumi yang menggarap tanah harus menyetorkan pajak hasil bumi (sebagai sewa tanah), tetapi yang bekerja untuk perkebunan tebu tidak harus menyetor pajak tersebut. Jadi mereka kemudian menjadi buruh tanam, buruh tebang dan buruh angkut tebu. Di pabrik-pabrik gula pun penduduk pribumi juga menjadi buruh rendahan karena posisi mandor/pengawas banyak diisi oleh golongan priyayi dan orang Cina. Sementara orang Eropa, khususnya orang-orang Belanda bekerja di bagian kantor.

Walaupun penduduk pribumi dan lingkungan di Jawa telah dieksploitasi oleh pemerintah kolonial tapi mereka meninggalkan warisan bagi perkembangan ekonomi Jawa. Van Niel menyebutkan ada 3 warisan Sistem Tanam Paksa, yaitu: pembentukan modal, tenaga kerja murah dan ekonomi pedesaan. Pembentukan modal berkembang pada periode selanjutnya karena pemerintah kolonial dan para pengusaha swasta (Eropa dan Cina) menanamkan modal untuk perkebunan dan industri gula di Jawa. Hal ini disebabkan karena kondisi ekologis di Jawa yang sangat mendukung (tenaga kerja yang murah disertai lingkungan yang cocok untuk ditanami tebu). Selanjutnya, sistem ekonomi pedesaan mulai muncul karena sudah ada kegiatan industri, perburuhan, bahkan penanaman modal oleh pemerintah dan swasta asing. Jadi, Sistem Tanam Paksa di Jawa merupakan upaya modernisasi  untuk mengembangkan desa (unit terkecil sistem administrasi daerah) sebagai basis produksi yang bisa membawa perekonomian Jawa ke tingkat dunia.



*Sistem Tanam Paksa di Jawa. Penulis: Robert van Niel. Jakarta: LP3ES, 2003. Hlm viii, 308, bibliografi + indeks.

Our Location