(Ditulis oleh: Abdul Mujib)
Pembahasan tentang agama
(maupun yang lain) seringkali memunculkan dikotomi; agama bisa dipahami sebagai
firman tuhan atau tradisi. Secara akademik, tulisan ini mencoba untuk melihat
agama dari perspektif yang berbeda. Wilfred Cantwel Smith (1964) mengungkapkan
bahwa terbentuknya agama secara institusional sekitar abad ke-16, dimana pada
saat itu Kristen sebagai prototype (model) bagi kiblat terbentuknya
agama yang lain. Standararisasi agama yang terdiri dari adanya kepercayaan
Tuhan, doktrin serta penganutnya ini (yang harus transnasional; agama harus
dianut diberbagai negara), dalam bukunya disebut reifikasi, yaitu peng-empirisan
yang abstrak (atau lebih tepatnya, penarikan garis kesamaan tentang apa yang
disebut agama). Karena sebelum zaman kolonial, di Barat, agama bagi pemeluknya
dipahami sebagai community yang lekat dengan kerajaan atau
negara.
Untuk
kasus Hindu dan Budha mempunyai perlakukan/ proses yang berbeda. Masih akibat
dari post-kolonial, hindu dan budha dianggap sebagai agama karena untuk menyebut
daerah jajahan Barat yaitu India. Untuk menggolongkannya, mereka “dipaksa”
untuk mempunyai Tuhan dengan cara melabeli –ism,
sehingga menjadi Hinduism dan Budhism. Kedua agama ini yang pada awalnya
(hanya) tradisi, berkembang ke berbagai belahan dunia. Untuk Islam, yang
menolak untuk disebut Mohammadism,
mempunyai daya tawar pada saat itu. Oleh karena itu, agama dalam akademik
merupakan social construction;
agama bukan dianggap sebagai yang lahir secara alamiah, tetapi agama hidup
dalam sejarah manusia (Bagir, 2015).
Di
Indonesia, ketika zaman Sukarno, masih mengakui beberapa agama dunia dan aliran
kepercayaan. Akan tetapi setelah beralih ke era Suharto selaku presiden ia
menerbitkan peraturan PNPS No. 1 tahun 1965 yang membatasi hanya world religion
yang diakui di Indonesia. Peraturan tersebut menghapus legalitas aliran
kepercayaan dan kong hu cu. Sehingga dimulai pada tahun tersebut, Agama
missionaris dan dakwah berlomba-lomba untuk mengagamakan orang yang
“dianggap” belum beragama.
Dengan
berlakunya peraturan tersebut, banyak penganut agama lokal (agama asli
Indonesia, seperti sunda wiwitan, amatoa, permalim, dll), meskipun mereka
ber-KTP Islam atau Kristen, mereka tetap menjalankan ritual (lokal) mereka.
sehingga masih banyak dari mereka yang dianggap musyrik karena masih
menjalankan ritualnya. Padahal mereka mempunyai cara tersendiri yang memahami
agama.
Meskipun
pemerintah Indonesia menjamin warganya untuk bebas memeluk agamanya
masing-masing sesuai dengan pasal 29 dan juga pondasi Pancasila sila ke-1
tentang Ketuhanan yang Maha Esa, agama lokal belum bisa diakui sebagai agama.
Tentunya hal ini menimbulkan kecemburuan dengan apa yang dilakukan oleh Hindu
(yang punya banyak Tuhan) dan Budha (yang tidak bertuhan). Oleh karena
agama-agama itu mempunyai jaringan transnasional, sehingga pemerintah mampu
mengkondisikan mereka (seolah-olah) bertuhan dan Esa.
Perspektif atau paradigma antara agama dunia dan agama lokal:
Perbedaan
mendasar antara agama dunia dan agama lokal adalah posisi tuhan maupun alam
terhadap manusia. Pada agama dunia (utamanya Islam-Kristen) posisi Tuhan selalu
diatas manusia dan alam diciptakan oleh Tuhan untuk manusia. Sedangkan pada
agama lokal, Tuhan (mungkin kita sering menyebut dengan roh/ animism) bisa
berada dimana-mana seperti pohon atau gunung. Antara Tuhan dan alam adalah
sederajat dengan manusia itu sendiri selaku subjek, dan alam bukan sebagai
objek, melainkan subjek yang lain. Oleh karena itu, secara akademik, ada
istilah inter-subjektif.
Inter-subjektif
merupakan pola relasi antara manusia dengan alam atau manusia dengan Tuhan.
Oleh karena itu, ketika ada penganut adat tertentu yang membawa sesajen (misal)
ke hutan, bisa jadi itu adalah ungkapan rasa syukur atau sembah kepada Tuhan.
Akan tetapi ketika kita melihat ritual tersebut dari kacamata world religion,
maka mereka bisa dikatakan sesat‟ atau ajarannya tidak sesuai dengan
(katakanlah) syariat atau missionari.
Dampak
dari perbedaan paradigma tersebut memunculkan agama yang mayoritas dan
minoritas atau bahkan agama superior dan inferior, yang memunculkan perlakuan
diskriminasi. Hal ini, tentu saja, berpengaruh pada pengakuan hak-hak sebagai
warga negara, misalnya Kolom KTP yang mempengaruhi hak-hak penganut agama
lokal terhadap kebebasan mereka di ruang publik seperti tidak bisa menjadi
pejabat negara, ataupun hak untuk mendapatkan anggaran negara. Paradigma agama
lokal ini bisa jadi juga digunakan untuk memahami mengapa orang-orang pendalaman
mempertahankan hutan mereka mati- matian, tentu ini erat kaitannya dengan
isu-isu menjaga/melestarikan lingkungan.
0 komentar:
Posting Komentar